Tuesday, November 28, 2006

Borat dan Kita


Seperti biasa kalo mau nonton di Indro selalu harus nunggu selasa biar dapet half price kecuali di SouthBank. Memanfaatkan waktu pas murah jadi inget Borat kebetulan juga yang tadi disimak baik-baik juga adalah pelem Borat "Hallo, I am a Borat" itu lah kata grammatically incorrect yang sering keluar dari mulut berkumisnya dengan selalu ingin mencium pipi ketika berkenalan terutama sama kaum Adam - tentu saja setiap cowok pasti menolak utuk di cium. Jadi inget ketika pas dateng ke Brisbane kalo ketemu sama para akhwat terutama di pengajian dan kurang akrab pasti cium pipi kanan kiri sebanyak tiga kali cuma sewaktu di Indo cium-ciumannya cuma 2 kali kanan terus kiri, padahal personally aku paling gak comfy kalo udah bersentuhan fisik sama orang, laki dan perempuan. Aneh juga kok cium pipi tiga kali banyak amat. Terus terang sampai saat ini belum tahu hadistnya apa, cuma ngikut doang meski gak setuju. Ternyata setiap orang Indo yang baru datang ke Brisbane akan bertanya kenapa disini 'ciumannya' tiga kali dan hampir semua yang jawab gak tahu.

Setelah menyimak filem tadi dari sudut pandang 'kita' ternyata aku kumpulin kejadian-kejadian konyol mirip si Borat yang nyambung dengan Cross Cultural Understanding, terutama western culture dengan non-western

Dari segi performance, sebenarnya si Borat hampir mirip dengan Mr. Bean cuma yang ini keluar suara sedang si Bean nggak. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Inggris parah seperti kebanyakan orang Indo termasuk Putri Indonesianya, Nadine. Dari segi bahasa, Borat menggunakan survival language padahal dia adalah seorang journalist yang harus interview kesana kemari termasuk interview live di TV dan dengan para feminist yang tidak pernah ada dinegaranya. Dengan bahasa yang pas-pasan dia maksain diri untuk membuat film dokumenter. Satu kejadian kelucuan bahasa yang mirip terjadi pada teman sendiri.

Suatu ketika di tempat kerjaan, ada orang tua anak yang menjenguk bayinya. Si anak dibawa temen ku kedalam sebentar si ibunya menunggu di luar, sambil masuk kedalam temenku bilang "coming soon" [kaming suuun], maksudnya dia mau bilang 'I'll be right back'. Aku gak kuat nahan ketawa tapi takut menyinggung - What de? Kejadian ini aku ceritai ama suamiku ketawa spontan gak ketahan sampai-sampai setiap suamiku mau bilang ntar balik lagi dia selalu bilang "coming soon" sambil ketawa. Si borat lebih parah, ketika dia sedang mempelajari dinner dan table manner dengan high society, dia mencoba membuka percakapan dengan pertayaan berulang ke setiap orang yang dinner "What do you do?" Salah satu yang hadir menjawab retired tapi yang terdengar si Borat malah retarded jadi ....

Satu lagi kejadian gagap budaya dan bahasa terjadi sama orang Indo tepatnya Dhani Ahmad, celebrity, pemimpin Band Dewa yang paling banyka fans-nya di Indo. Suatu pagi yang udah ku tunggu-tunggu karena udah dapet imel dari Shanon kalo Dhani Dewa akan di interview oleh Channel Seven, stasiun TV di Aus. Pas Dhani udah on air, dia di tanya host Sun Rise tentang Laskar Cinta yang katanya liriknya menguggah para westerners karena isinya tentang kritikan buat para Jihadist atau islam radikal. Pasti banyak sekali info yang diharapkan oleh Mel dan David Koch dari Dhani sebagai musisi yang mencoba meredam jihad dan violence. Tapi begitu dilempar pertanyaan ke dua Dhani cuma ngomong satu dua kata dan jeda lebih dari satu menit - gak tahu bingung Inggrisnya apa atau gak punya ide untuk mengungkapkan yang dia maksud, Kebayang kan kalo kita ngomong nyroscos selama satu menit juga lama banget. Diam seribu bahasa tak terungkapkan, gak seperti ketika dia mengexpresikan lirik-lirik lagunya. Yaaah .... Dhani parah jadi inget Borat Ni .... untung aja diamankan ama Bu Rochi (kalo gak salah) dari UNSW dengan meneruskan menjawab pertanyaan Dhani.

Kalo dirinci satu per satu banyak sekali kejadian yang mirip dengan yang dialami si Borat di filemnya. Terutama sebagai first timer arriving overseas in western civilisation. Sebenarnya, gak cuma non-westerner aja yang gagu, tapi westerner juga gagu kalo masuk ke kultur kita. Cuma bedanya adalah mereka mengangagap kultur mereka lah yang dianggap lebih tinggi dan beradab dan juga banyak orang-orang yang sudah terwesternised kemakan sama budaya mereka yang dilihatnya lebih civilised. Padahal belum tentu kan?

Satu lagi eh dua lagi, yang membuat geli dan penasaran kalo gak diceritain, ketika si Borat di kereta entah subway, tiba tiba ayamnya (ayam hidup) jatuh keluar dari kopornya. Nah kejadian ini mirip dengan kereta ekonomi jurusan Bandung-Surabaya katanya, sorry kalo salah ya. At least pertama aku ikut mudik juga ada yang bikin schock kalo orang-orang pada bergelimpangan tidur di isle kereta. Yang aku bisa ambil kesimpulan adalah kebiasaan buruk seperti itu sudah tidak bisa dianggap lagi kejadian aneh kerena pembiasaan yang paling suka dikatakan orang Indo "yah ... itu mah udah biasa, gitu aja kok repot" Padahal gak gitu. Aku pernah berontak untuk balik jawab "Makanya jangan dibiasain, kok kebiasaan buruk dipelihara" nah inilah mungkin yang membuat kultur kita dianggap rendah dan tidak beradab dengan contoh sebuah ketidakteraturan yang sempurna.

Nah ini yang satu lagi tadi. Kejadian geli yang membuat ku agak-agak harus nebelin muka tapi gimana lagi yaa ... Tapi gak tega nyeritain detailnya, intinya adalah diajak temen BYO food in the buffet resto. Kebayang gak ....

Saturday, November 18, 2006

Buy Nothing Day, 26/11

Liat kiriman kunci tentang celebration Buy Nothing Day menarik juga. This is such a good idea untuk mengekan nafsu belanja yang sudah mendarah daging. Hari tanpa belanja ini dirayakan ntar 26 November artinya selama 24 jam hari itu dilarang melakukan transakasi apapun. Dalam rangka Buy Nothing Day ini kunci meng-encourage orang buat sharing pengalaman belanja sperti dikisahkan dalam www.kisahbelanja.blogspot.com. Buy nothing day is a good way of giving such awareness about the culture of consumerism.

Kalo dibandingkan pengalaman belanja di Indo dengan di Aussy sangat menarik. Sebuah gaya belanja yang unik. Bisa kita kategorikan weekly shopping buat keperluan: makanan, luch box dan toilteries dan exessive shopping; baju yang lagi in, shopping karena discount, ada barang yang diincer dan rengekan sang anak dan lagi-lagi ada factory outlet baru.


Untuk weekly shopping food supply dan toiletries.
Indonesia: Kita sebenarnya bisa beli-beli kapan aja, soalnya warung ada dimana-mana. Kadang kalo kita kesupermarket yang dibeli gak cuma food supply atau toiletries tapi macem-macem bisa barang elektronik atau yang gak penting-penting. Kelihatannya ada kebiasaan di Indo untuk kalangan menengah kebawah, belanja di Mall adalah untuk gaya aja dan menganggap bekanja di Mall dan supermarket untuk belanja sambil window shopping. Belanja keperluan rumah tangga yang sesungguhnya adalah di pasar traditional yang cenderung lebih murah tapi gak gaya jadi gak dianggap seperti shopping.

Kalo disini, berhubung jarang ada warung ya terpaksa belanja food supply and toiletries harus weekly atau forthnightly - kalo nggak bisa berabe, shopping tiap hari ke supermarket? - nggak dech. Apalagi Asian food yang gak setiap supermarket menyediakannya. Kalo ada salah satu jenis Asian food yang kelewat ketika shopping ya kepaksa ditahan aja walopun kebelet. Dan yang pasti beli halal meat yang harus diperhatikan soalnya jarak dari tempat tinggal lumayan juga, jarang bahkan gak ada supermarket yang menyediakan halal meat. Bedanya dengan di Indo adalah semuanya bergaya swalayan meski ada toko di 'low income suburb' yang mirip dengan pasar traditional (kotornya).

Sunday, November 12, 2006

A View Point on The Prohet's PBUH Visualisation

This is the thing I could refer to the bedlam I've been following for days. This opinion is considered to be in the hard line but telling the truth that I myself can't hold this truth. Wallahu'alam.


At the moment my answer to your query will be from my memory only and what I can recollect of my thoughts in a brief moment now. This is ofcourse because I have three exams in the next three days and one more next friday so I'm caught up with those and as is my mind!!

The issue would be better phrased as 'why we are not allowed to make any type of images of the Prophet (s)'

As for visualising him in our mind, we are allowed to do it as much as we can in a limited way in our imaginations by the various attributes and descriptions of him in hadith such as his smile, his teeth, his height, his physique, his hair colour, his beard etc etc.

As for portraying the Prophet in a picture, whether it is his real image or our guess from his few attributes we know then this is not allowed by consensus of Muslim scholars over the last fourteen centuries.

This is for various reasons. Some of these reasons that I can recollect in a rush now are as follows.

1. The Prophet (s) forbade us from drawing or making any sort of images of any living being - animal or human even as we see it. He said, "May Allah curse the image makers" This is an authentic hadith.

2. Sahabah understood from this banning that no animals nor human should be made an image of neither a statue nor a drawing etc. So Ibn Abbas after the death of the Prophet (s) encountered a person drawing images of animals as a habitual thing. Ibn Abbas forbade him and directed him instead to draw images of trees and sceneries if he really wanted to draw. This shows that even after the death of the Prophet this is how the companions understood and implemented the prohibition of pictures.

3. Therefore no 'photo' or portrait of the Prophet (s) was preserved neither by his companions in his lifetime nor any one after him. At that time, the Christians used to have statues or images of their important religious personlities such as Jesus as did other religious communities. The companions would have loved to do so too of the most important personality to them, especially to remember him after his death or to show others of later generations how great he looked as a Messenger of Allah. But they did not do it as it was clearly forbidden in Islam and well known.

4. Since no portrait of the Prophet exists, any image of him now would be a lie against the Prophet (s). We may try to draw as accurate as we can from his description in the hadith, but they are few and despite that no one can capture his smile or his mood etc in any drawing now as it will only be a guess work and therefore such a thing would be a lie about the Prophet and misleading people - Muslims and nonMuslims.

5. Instead if someone said, I'm merely drawing a cartoon not claiming it to be real but only to make a political or moral or any other point. Although there is no claim by such a person to real image of the Prophet (s), but again such an image leaves an impression of the character etc of the Prophet in the minds of the viewers. This impression is a gross misrepresentation and a big lie. A well intentioned person would try to do justice and a nice impression whereas a cartoonist related to terrorism is far far away from his real picture.

6. Also, given that the Prophet forbade a real true image, then a false incorrect image is further from permissibility due to falisfication of the true image which has far reaching consequences on a person's mind and religon etc.

7. Besides all this it is an insult to draw a cartoon of a respected person. In Kafir society here, they mock their own presidents etc but in Islam we are ordered to respect and honour the elders and any other muslim, therefore cartoons themselves are not allowed in Islam if they are of a real person - whether the Prophet or anyone else. This is completely against Islamic character.

8. Another reason the images were forbidden in Islam is due to a hadith (the words of it are long and I do not remember right now). In that hadith, it is mentioned that the way shirk first entered in human thought and practice was when a righteous person died, others took his picture/image and kept it. They would remind themselves of the person's image to rejuvinate their iman and strengthen their drive to piety be reminding themselves of that pious man via his picture. They did so in next generation but as time passed they started to glorify the iman of that pious man, this with time worsened to excessive admiration to the point of deification - i.e. shirk with Allah. This is according to hadith and it occured. This hadith was mentioned to teach us a lesson of not taking images of any rightoues persons, especially the Prophet, due to the same fear. Christians fell again into the same trap. Infact their picture is not true image of Jesus nor of Mary and many know it (only from descriptions of Jesus and guess work) but they take it to remind of them and over time it led to shirk and standing before it etc. Imagine an image of the Prophet Muhammed to weak Muslims seeking strength.

9. Therefore, Muslims kept no images of no Prophets from before. It would have been easy for us to keep an image of Jesus as a Prophet but we did not over the centuries. We also never kept images of any famous personalities nor anyone else until this time when we lost ourself in an inferiority complex justifying and doing most of what some kafirs do who we regard as our superiors in arts, science and technolgy. Our arts are different to theirs and its good for us to realise it.

This is some of what I could think of for now brother, I hope that helps.

Wassalamualaikum
A

Thursday, November 09, 2006

Ordinariness - Semua orang kok mau spesial?

Seperti biasa, sambil beristirahat baca koran. Koran yang d' most wanted adalah Courier Mail soalnya isinya sangat lokal 'n easy to read. Untuk membaca ini usahanya lumayan juga harus berkunjung ke gedung sebelah kalo mau kenyang bacanya dan berlangganan ke si Kai n Nur supaya korannya jangan dibuang. Setiap baca Tuesday View, Wednesday View dan view-view lainnya di rubrik Perspectives, hampir tidak pernah tidak menarik. Semua perspective yang dipublish selalu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan selalu kebetulan nyambung dengan event-event sepele yang terjadi antara teman dan community.

Wednesday View kali ini berjudul "Not so special after all", ditulis oleh Karen Brooks. Si karen ini menulis tentang perubahan makna ordinary dalam kamus bahasa Inggris. Karen bilang, dulu kata ordinary ini mempunyali nilainya arti yang positif yaitu biasa, tidak membuat ulah dan oke-oke aja. Tapi sekarang terjadi pejorativism dalam kata ini yang dia asumsikan artinya sebagai "loser" atau pecundang atau juga "failure". Karena mungkin semua orang pada ingin special sebagai kebalikan dari oradinary. Ide berkembang di masyrakat semua yang spesial itu hebat dan positive sehingga membalikan ordinary jadi negatif. Rasanya pergeseran makna ini terjadi pula di lingkungan pemakai bahasa Indonesia. Ya .... seperti dimaklumi lah, namanya juga global village.

Baik di Indo maupun di luar negri, semua sama saja. Setiap orang berlomba-lomba meski tak mau terlalu kentara untuk menjadi paling spesial diantara sesamanya. Hal yang dicontohkan Brooks adalah para bloggers yang mengekspos kehidupan pribadinya - Wah ... si Brooks ini nyindir juga. Menurut dia para bloggers dan photo-oploaders mengumumkan kepada dunia dengan bodohnya bilang "look at moi, I'm special" - "Neeh liat gue neeeh, gue special khan ..." dalam hati bergumam, everybody likes moi. Padahal kalo kita gak pernah kasi komen atau gogorowokan di shout out mana ada yang mau mampir ke blog kita kalo gak salah pencet. Ternyata menurut eksperimen, kalo kita gak ninggalin jejak di blog orang mana mau n tahu si empunya akan kasih kunjungan balik. Sialan juga nih kolumnist, tapi emang bener banget, kenapa kita pengen selalu paling special. Padahal kalo semua spesial yang spesial sungguhannya siapa dong? Seperti ada tulisan di fridge magnet yang berbunyi "Everybody's unique like anybodyelse". Yang kerasa sendiri, menulis personal dramas and predilections are so UNME. Rasanya wierd banget kalo aku udah nulis begitu walopun cari excuse untuk record masa depan, dan kemungkinan lainnya bisa jadi penulisan life journal adalah refleksi dari inferiority complex. Contoh ini gak hanya berlaku di dunianya si penulis tapi jelas di dunia kita pun sangat sering terjadi.

Contoh tadi contoh kita di dunia maya, contoh lain yang live benar-benat terjadi adalah si A yang selalu ingin tampil lebih pintar, ingin lebih banyak tahu dari orang-orang dan ingin paling banyak informasi. Kelihatannya, bila ada orang lain yang lebih tahu dari si A, dia akan bertanya "emang dari mana tahu info itu?"dan mengecek sakan tak percaya. Dari hari ke hari diperhatikan contoh kasus kita ini malah tambah konyol dengan tujuan semula, menurut dia, menjadi spesial adalah mengetahui informasi terbanyak diantara teman-temen sekitar. Adalah contoh kasus lainnya sebut saja si B. Menurut dia, sepertinya menjadi spesial adalah dengan menunjukkan pendapat paling beda sekalipun bertentangan dengan aturan agama. Mungkin si B ini ingin dianggap unique dan berbeda dengan orang-orang biasa. Pendapat-pendapatnya selalu berkecenderungan untuk cari sensasi, dia suka dikerubutin konco-konco [menggalang massa]yang bisa dijadikan abdinya dengan dalih agama. Si B ini akan sangat merasa spesial bila dia berada ditengah-tengah massa-nya. Apalagi bila sebagian konco kongkow-kongkow sudah seperti menyembah sang B walaupun sang B paling suka bullying konconya. Ironinya adalah untuk menjadikan dirinya spesial adalah dengan mengorbankan orang lain, masih mending kalo tidak.

Kesimpulannya adalah jika setiap individu meresa berhak untuk jadi spesial maka tidak ada kata "we" yang jamak itu karena tiap orang adalah "me". Dan bahkan kata si penulis kalo bisa Me-nya itu disebutkan berulang-ulang dengan suara seriosa yang tingggi. "me, me, me, me, me, ...... terjadilah keegoisan yang tidak pernah menjadi kebaikan.