"I was nearly crying mummy, when I looked at their scar. I was so scared". Itulah komen yang keluar dari mulut seorang anak usia 5 tahun ketika melihat saudaranya, dua orang anak perempuan, menjadi korban lahapan api di Aceh.
Sore itu selesai ngajar di Ironside, rencananya pengen ngajak Lara ke tempat keluarga Pak Rasmidin yang baru datang dari Aceh - terkena musibah dan menjadi korban kebakaran sekeluarga. Hendak mengajak seorang anak untuk bisa lebih bersyukur akan nikmat-Nya dan sarana belajar caring terhadap sesama. Kebetulan sore itu juga kita diajak pergi kesana mengantarkan makanan Indonesia. Alhamdulilah ternyata mereka bisa bermain sama Lara seperti anak-anak sehat yang lain walaupun kaki dan tangan mereka perlu perbaikan medis akibat luka bakar.
MasyaAllah, sesampai disana kami melihat anak-anak nya yang terkenai kobaran api, sangat memilukan. Ayahnya bercerita dari awal terjadi sampai bisa datang ke Austalia untuk mendapatkan bantuan medis dari ROMAC. Mendengar ceritanya kita bisa banyak mengambil hikmah dengan apa yang menimpa mereka. Kalau memang Allah SWT menghendaki, lari kemanapun kita dari takdir, Allah pasti memberikan ujian-Nya. Keluarga ini memang sudah menjadi korban Tsunami 2004 silam dan hendak mencari dataran yang lebih tinggi karena trauma dengan gelombang tsunami, maka mereka mendirikan rumah kayu di daerah yang masih tidak terlalu padat penduduknya. Suatu malam ketika gempa hebat melanda Aceh kembali rumah mereka terbakar dan mereka dalam keadaan sedang terlelap. Mereka baru sadar setelah dikepung api, ayahnya menyelamatkan semua anaknya dengan menerobos api berkali-kali hingga dia pingsan selama 21 hari. Kedua anak perempuannya mengalami malformation pada bagian kaki dan tangan akibat luka bakar dan akan dioperasi di sini, Royal Children Hospital Brisbane.
Alhamdulillah, saudara-saudara seiman yang ada disini pun tak kalah sedang berlomba-lomba beramal membatu keluarga Pak Rasmidin. Banyak sekali cerita-cerita tentang kunjungan masyarakat Indonesia yang ada di Brisbane. Mudah-mudahan terhindar dari riya.
Itu adalah satu sisi perjuangan satu keluarga yang sangat nyata untuk memperbaiki nasib anak-anak mereka. Di satu sisi, dalam minggu yang sama masyarakat muslim Indonesia yang sedang berlomba dalam kebaikan lewat Pak Rasmidin, di sisi lain juga ada yang sedang berlomba memperdebatkan mana yang lebih baik Al-Qur'an atau karya sastra, dua kubu berbeda pendapat dengan sengit sampai posting-posting tak sehat berkeliaran. Setiap orang yang punya hati nurani pasti tahu kalau perkara tidak layak untuk diperdebatkan. Tapi apa sih yang sebenarnya mereka cari? Mengapa harus memancing di air keruh? Lihat kembali pencarian Pak Rasmidin yang sungguh-sungguh memperjuangkan hal nyata.