Lately, aku harus sadar aku harus kurangi aktivitas terutama yang dealing with earning. Ada yang udah complain kalo aku harus lebih concern ama 'something more important than M'. Yang ngomplain ternyata orang yang harus aku turuti perintahnya kalo mau jadi istri sholihah. Ini semua konsekuensi dari semua kesibukan yang belakangan menguntit. Aku coba untuk pause bentar n reflect to myself, what I have to do now is supporting him for his unbelievebly hard ass Ph.D. Nothing can buy it. Sacrifice is the only way.
Lama-lama mikir, aku harus pikirin pulang juga termasuk hectic-nya packing n doing all administration matters and bills and may be tax return. Hampir tiap hari ku sempetin liat webjet.com.au siapa tahu ada ticket murah buat pulang. Kemis pagi webjet lagi on sale, ternyata SQ bisa dapet AUD$703.00. Penasaran kalo gak di browsing sampai akhir cerita aku tanya flight centre langganan yang pasti berani nurunin harga dari harga yang palin rendah sekalipun, ternyata bisa dapet AUD$ 1.243.00 termasuk Lara. Alhamdulillah. Satu agenda kepulangan beres, insyaAllah.
However, in one hand, kayaknya physically udah agak siap nich buat the safe return, at least gak kaya December kemaren yang sama sekali rasanya gak siap buat pulang. On the other hand, rasanya mentally berat sekali denger-denger kehidupan di negara asalku. Sudah pasti sistem di sana sama sekali tidak akan memberdayakan ku. Yang paling pasti penghasilan udah pasti jauh beda dengan di sini meski status pekerjaan lebih bergengsi ketimbang disini. Belum lagi, aku mikirin macet yang pasti semakin parah terutama KOPO. Tambah lagi acara TV, ketika kemaren terakhir aku liat SCTV di sebuah resto Indo yang pake parabola, ihhh ... acaranya mengerikan gimana Lara ntar. Oh ... my God berikan kesabaran dan ketabahan kalo aku pulang nanti. Salah satu cara adalah positive thinking yaitu rubah saja semua kecemasanku menjadi harapan. Harapan menjadikan semua kesusahan dan keparahan Indonesia bisa menjadi ladang amal buatku. Yang membuatku tak habis pikir adalah, penduduk yang nota bene mayoritas Islam tapi kok bisa seperti itu, korupsi sudah menjadi sebuah sistem. Korup adalah sistem yang berlaku di Indonesia mulai dari pejabat sampai grass root. Sedangkan di sini, mayoritas kafir tapi bisa mengatur dirinya sendiri dengan baik dan bahkan lebih baik dari orang-orang yang mengaku muslim.
Sabtu lalu ada dosen dari Mataram yang nginep di rumah untuk ikut pelatihan di UQ. Dia cerita begitu sulitnya menentang sistem korupsi di tempat ia bekerja, mulai dari manipulasi proyek-proyek pertanian sampai pembagian air untuk para petani pun bisa dijadikan ajang korupsi. MasyaAllah. Harus diapakan negaraku. Apakah aku akan terjebak dengan sistem seperti itu nanti ketika pulang. Aku jadi ingat tulisan di milis yang cerita ada seorang migran muslim yang berani berkata, "tinggal di Australia ini saya bisa lebih terbebas dari commiting sin, bahkan saya bisa banyak beramal dan hidup lebih sehat secara mental dan fisik". Mungkin ini aku alami sekitar dua tahun terakhir mendalami kehidupan di OZ. Tahun-tahun pertama rasanya aku belum menemukan kehidupan yang seperti dikatakan migran tadi karena kehidupan ruhiyah tak terpenuhi, sedang ketika kita ditakdirkan bertemu orang-orang saleh yang akan selalu mengingatkan kita kepada-Nya, rasanya tanah di negeri asing ini adalah tempat yag ideal untuk menjalankan semua perintah-Nya bahkan ironinya di negara yang sangat sekuler seperti ini, tapi apakah nanti ketika aku pulang bisa menjadi lebih baik. Bagaimana dengan cerita-cerita menyedihkan temen-temen yang baru pulang? Bagaimana dengan cultural schock mereka ketika berada di culture nenek moyang kita? Bisakah aku survive ...
1 comment:
Fi...damang? tos lami nembe jl2 deui yeuh.....bade uih ka Indo saterasna atanapi kumaha?iraha ka Indona? pami di Kopo saha n palih mana ?hiiiiinarosna meuni seueur nya?mugi lungsur langsar.
Post a Comment