Seperti biasa, sambil beristirahat baca koran. Koran yang d' most wanted adalah Courier Mail soalnya isinya sangat lokal 'n easy to read. Untuk membaca ini usahanya lumayan juga harus berkunjung ke gedung sebelah kalo mau kenyang bacanya dan berlangganan ke si Kai n Nur supaya korannya jangan dibuang. Setiap baca Tuesday View, Wednesday View dan view-view lainnya di rubrik Perspectives, hampir tidak pernah tidak menarik. Semua perspective yang dipublish selalu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan selalu kebetulan nyambung dengan event-event sepele yang terjadi antara teman dan community.
Wednesday View kali ini berjudul "Not so special after all", ditulis oleh Karen Brooks. Si karen ini menulis tentang perubahan makna ordinary dalam kamus bahasa Inggris. Karen bilang, dulu kata ordinary ini mempunyali nilainya arti yang positif yaitu biasa, tidak membuat ulah dan oke-oke aja. Tapi sekarang terjadi pejorativism dalam kata ini yang dia asumsikan artinya sebagai "loser" atau pecundang atau juga "failure". Karena mungkin semua orang pada ingin special sebagai kebalikan dari oradinary. Ide berkembang di masyrakat semua yang spesial itu hebat dan positive sehingga membalikan ordinary jadi negatif. Rasanya pergeseran makna ini terjadi pula di lingkungan pemakai bahasa Indonesia. Ya .... seperti dimaklumi lah, namanya juga global village.
Baik di Indo maupun di luar negri, semua sama saja. Setiap orang berlomba-lomba meski tak mau terlalu kentara untuk menjadi paling spesial diantara sesamanya. Hal yang dicontohkan Brooks adalah para bloggers yang mengekspos kehidupan pribadinya - Wah ... si Brooks ini nyindir juga. Menurut dia para bloggers dan photo-oploaders mengumumkan kepada dunia dengan bodohnya bilang "look at moi, I'm special" - "Neeh liat gue neeeh, gue special khan ..." dalam hati bergumam, everybody likes moi. Padahal kalo kita gak pernah kasi komen atau gogorowokan di shout out mana ada yang mau mampir ke blog kita kalo gak salah pencet. Ternyata menurut eksperimen, kalo kita gak ninggalin jejak di blog orang mana mau n tahu si empunya akan kasih kunjungan balik. Sialan juga nih kolumnist, tapi emang bener banget, kenapa kita pengen selalu paling special. Padahal kalo semua spesial yang spesial sungguhannya siapa dong? Seperti ada tulisan di fridge magnet yang berbunyi "Everybody's unique like anybodyelse". Yang kerasa sendiri, menulis personal dramas and predilections are so UNME. Rasanya wierd banget kalo aku udah nulis begitu walopun cari excuse untuk record masa depan, dan kemungkinan lainnya bisa jadi penulisan life journal adalah refleksi dari inferiority complex. Contoh ini gak hanya berlaku di dunianya si penulis tapi jelas di dunia kita pun sangat sering terjadi.
Contoh tadi contoh kita di dunia maya, contoh lain yang live benar-benat terjadi adalah si A yang selalu ingin tampil lebih pintar, ingin lebih banyak tahu dari orang-orang dan ingin paling banyak informasi. Kelihatannya, bila ada orang lain yang lebih tahu dari si A, dia akan bertanya "emang dari mana tahu info itu?"dan mengecek sakan tak percaya. Dari hari ke hari diperhatikan contoh kasus kita ini malah tambah konyol dengan tujuan semula, menurut dia, menjadi spesial adalah mengetahui informasi terbanyak diantara teman-temen sekitar. Adalah contoh kasus lainnya sebut saja si B. Menurut dia, sepertinya menjadi spesial adalah dengan menunjukkan pendapat paling beda sekalipun bertentangan dengan aturan agama. Mungkin si B ini ingin dianggap unique dan berbeda dengan orang-orang biasa. Pendapat-pendapatnya selalu berkecenderungan untuk cari sensasi, dia suka dikerubutin konco-konco [menggalang massa]yang bisa dijadikan abdinya dengan dalih agama. Si B ini akan sangat merasa spesial bila dia berada ditengah-tengah massa-nya. Apalagi bila sebagian konco kongkow-kongkow sudah seperti menyembah sang B walaupun sang B paling suka bullying konconya. Ironinya adalah untuk menjadikan dirinya spesial adalah dengan mengorbankan orang lain, masih mending kalo tidak.
Kesimpulannya adalah jika setiap individu meresa berhak untuk jadi spesial maka tidak ada kata "we" yang jamak itu karena tiap orang adalah "me". Dan bahkan kata si penulis kalo bisa Me-nya itu disebutkan berulang-ulang dengan suara seriosa yang tingggi. "me, me, me, me, me, ...... terjadilah keegoisan yang tidak pernah menjadi kebaikan.
No comments:
Post a Comment