Sunday, January 14, 2007

Grouchy Ghetto

Ngobrol dengan seorang teman, tentang racism di sini ... (eh jangan kaget dulu baca aja semuanya) ketika lihat breaking news ada riot di salah satu kota besar di sini. Temenku bilang sebenarnya racism menurut dia adalah sifat natural manusia biasa yang 'instinctive' cuma (aku tambahin) kalo disebutkan outloud terkesan naive. Statement ini menegaskan pendapatku sebelumnya ketika ngobrol pula dengan temen terdekat. Semakin kuatlah dugaanku kalau itu benar. Cuma kalau sudah nyangkut ke legal action yaa ... itu yang bisa berabe. Kita lanjutkan perbincangan dengan menyinggung diri sendiri contohnya, yang orang Jawa pada ngumpulnya ya sama Jawa juga dengan mengeluarkan jurus bahasanya yang membuat hubungan mereka lebih dekat, yang suku Sunda gak mau kalah, Bali pun dan suku-suku lainnya sama saja. Terlepas dari masalah kesukuan, kita semua yang orang Indonesia berada di luar negeri biasanya gak terlalu maksa ingin berada dengan sesama suku karena kita semua merasa saudara bahkan sampai-sampai saking merasa saudaranya urusan pribadi pun bisa jadi menjadi urusan bersama. Saking care-nya sama temen.
Karena memang sudah instinctive tadi, jadi kita jarang bisa immerse sepenuhnya dengan non-Indonesia, kemana-mana selalu bersama. Mungkin bisa kita check kalo di High Way ada mobil beriringan mulai dari 4 sampai 8 mobil coba di tanya, itu pasti orang Indonesia. Pernah ketangkap kamera ada notice board bilang "no tailgating" kurang lebih begitu bunyinya di notice board High Way. Kemana-mana selalu bersama itulah ciri dari kekeluargaan yang luar biasa mendalamnya, dan mungkin sebagian alasan lain adalah takut tersesat karena nanti takut gimana ini itu-nya. Ini kan di luar negeri gak sama kayak di Indo (singkatan dari Indonesia). Emang akan ada abang beca yang mau nunjukin jalan kalo kita tersesat? Padahal disini disediakan Refidex (peta jalan yang lebih dari cukup memadai)-kalo gak pake GPS- yang sangat bisa diandalkan, dibanding nanya orang yang lagi nangkring dan ngerokok dipinggir jalan kalo di Indo. Tapi, gimanapun kita memang menikmatinya dan kita gak bisa lepas dari itu.
Kebersamaan lain yang bisa dijadikan contoh adalah kampung melayu di Brisbane. Ada beberapa kompleks flat/unit yang isinya orang Indo semua. Pokoknya nggak kaya di luar negeri dech mungkin ntar kalo pulang pun kayanya aku malah jadi lebih pinter bahasa daerah. Kebiasaan berkumpul ini memang baik untuk menjaga ikatan silaturahim selama ikatan itu membuat kita menjadi lebih baik dan menambah relasi ketika pulang nanti. Aku jadi ingat istilah Ghetto yang maknanya kurang lebih seperti itu (sebagian daerah yang dihuni oleh kaum minoritas yang memiliki budaya yang serupa- maaf ... tanpa perubahan makna negatif yaa). Aku pun pernah mengalami suka dukanya berada di kampung melayu. Suka-nya kita sering bisa minta tolong dan ditolong teman-temen seperjuangan tapi malu sekali kalau kita yang ditolong terus tanpa kita memberi timbal balik, juga sering berkirim makanan dan pinjem-pinjeman bumbu masak. Duka-nya ternyata ada juga, kita jadi susah punya privacy, urusan pribadi jadi urusan bersama, pikiran selalu dihantui rasa cemas karena takut menyinggung orang lain jadi cara berpikir kita jadi kurang sehat karena selalu takut untuk bertindak, mau begini tak enak, mau begitu takut salah. Juga biasanya gossip beredar lebih cepat dari internet broadband, meski berusaha menghindar gak bisa nggak, pasti kedengeran. Dengan begini kapan kita mandiri, kapan kita bisa memiliki self-reliance dan independence, lagian seperti apa pengalaman kita diluar negeri kalau nggak jauh beda dengan kehidupan di Indo, apa kemajuan kita, bukannya kita datang ke luar negeri berharap ingin menambah pengalaman yang lebih baik, yang berbeda dengan di negeri sendiri. Tapi ada juga yang menganggap bagian 'duka' itu cuma mitos dengan kata lain tidak pernah ada sisi negatif-nya (asalkan tutup kuping dan tebal muka kali yaaa). Biasanya kelompok seperti ini menganggap individualis kepada kelompok orang yang ingin memiliki privacy sendiri. Labelling ini membuat pertanyaan kenapa kok para white people itu disebut individualis juga tapi semuanya berjalan lancar sesuai aturan yang berlaku? tidak ada kasak kusuk dan saling berprasangaka?
Perihal penyebaran info/berita/rumor yang super cepat dikalangan masyarakat aku juga gak ngerti, mungkin karena komuniti-nya yang itu-itu aja dan termasuk minoritas jadi bila ada seseorang yang tahu satu info maka semuanya akan tahu. Aku pernah coba tanya sama orang Iran dan Korea, apakah hal ini terjadi dikalangan masyarakat mereka di Brisbane ini. Jawabannya sama, berita cepat sekali menular baik kabar baik maupun kabar kurang sedap. Maaf nich aku jadi pengen ceritain kasus temen yang curhat, kelihatannya dia agak gerah dengan urusan pribadinya yang di-most-wanted-in sama orang lain. Belakanngan ini lagi musim mahasiswa Phd dibawah sponsor beasiswa mengajuakn extension (pepanjangan) kuliah. Katakan temanku, si X. Setiap ketemu orang pasti ditanya "sampai kapan exten-nya?" Asalnya sich cuek aja lagian dia juga gak tahu sampai kapan. Selanjutnya setiap orang kok jadi banyak yang tanya dengan pertanyaan yang sama? jawabannya pun masih belum tahu karena belum ada pengumuman. Lama kelamaan ada sesuatu yang aneh juga, ada juga orang yang luar biasa penasarannya sampai-sampai jadi memfitnah orang lain gara-gara ingin tahu jawabannya kapan. Akhirnya si X penasaran juga, ada apa dengan orang-orang penasaran ini? Kok jadi tidak sehat. Jadi si X ingin mencoba sampai mana kepenasaranan orang-orang disekitar kalo pengumuman exten ini dijadikan rahasia. Hari berganti hari ada rumor katanya si X udah dapet exten? Setiap telepon berdering dia ditanya atau dikasi selamat "selamat yaaa udah dapet exten-nya." Lho ... siapa nich yang bikin gossip? padahal si X gak pernah kasih tahu siapa-siapa katannya. Ada juga yang saking penasarannya mengecek dengan bilang bahwa dia memimpikan si X dapat extent sampai tanggal yang pasti. Apa sebenarnya yang terjadi? Entah kenapa? Apakah orang-orang yang berada di ghetto area memang suka ingin tahu urusan orang, tapi ... mudah-mudahan niatnya baik. Tapi apa yang membuat mereka penasaran? apakah ini karakter dari 'The Grouchy Ghetto".
Sebagai penutup, seorang Indonesia tidak bisa lepas dari teman sebangsanya sendiri, terbukti untuk orang Indonesia yang sudah menetap di Australia pun masih ingin bergabung dengan masyarakat Indonesia yang cuma bersekolah disini. Jadi jangan khawatir bertempat tinggal jauh dari orang-orang Indonesia(dengan itikad baik) bila kita berada di luar negeri, karena bagaimanapun kita pasti bisa menemukan mereka karena kita adalah satu.

Thursday, January 04, 2007

Catatan: End of Year Holiday



Akh ... baru sempet neh ... corat-coret lagi. Tidak komit janji untuk gak buka blog. Penasaran kalo gak nulis. Sebulan genap dengan no-shopping day tanggal 26 December adalah the shopping day, gimanaaa doong! Sebulan sebelumnya 26 November adalah hari gak belanja sedunia, pokoknya selama 24 jam tahan buat nyoping.

Gara-gara tradisi boxing day 26 Dec, jadi kebawa-bawa ikutan heboh shopping menyoping. Entah dari mana tradisi itu diciptakan, pernah lah baca di milist sejarah boxing day cuma lupa. Seperti tahun-tahun sebelumnya minggu terakhir tutup tahun diakhiri dengan libur bersama dari 24 December 2006 sampai 2 January 2007. Cihuyyy ... keliatannya asik bisa liburan kerja malam dan bisa nyantei. Ternyata, usut punya usut malah liburan padat bgt. Masih mending kalo kegiatan gak spending money, tapi berhubung sich ... boxing day. Kebiasan boxing day dimulai sejak datang ke Brisbane katanya semua harga jatoh di mall -mall atau branded stores. Mana bisa tahan, sugesti begitu kuat apalagi yang di kejar factory out let soalnya harga di mall meski udah turun masih juga ratusan dolar, no thak you. Tujuan alternative adalah FO yang dikejar surf-branded apparel dan kawan-kawannya. Mulai tanggal 26 tujuan menyoping adalah The Harbour Town yang terkenal dengan barang-barang merek tapi murah. Udah dech idealisme runtuh seketika untuk tidak konsumerisme. Memang untuk mempertahankan keistikomahan perlu jihad yang kuat. Ada barang murah, pengennya beli banyak sekalian buat oleh-oleh (kalo sayang dikasiin ... buat sendiri) apalagi inget Yuli yang udah balik ke Bandung beramanat kalo barang-barang disini lebih bagus di banding di Indo. Jadi yaaa ... beli dobel sebagian ... gaji forthnightly lumayan kecungkil.

Hari berikutnya 27/12/06, selain shopping bisanya juga film-film baru bermunculan Happy Feet n The Night in the Museum. Jadi masih dalam rangkan end of year holiday tak apa lah menyenangkan hati sang anak untuk ber-happy feet ria. Juga penasaran ngecek ke City ada yang murah nggak yaaa ...? Shopping lagi. Terus si ayah nanya besok kemana, ke DFO gitu? Aku spontan jawab, baru aja dari Harbour Town, gilee ... nggak ahh wasting ....

Besoknya, bengong sana sini, pagi-pagi beresin baju yang udah setahun gak disetrika. Telpon sana-sini siapa yang mau jalan, kemana? dari pada bengong dirumah liburan gini. Akhirnya setelah telpon sana sini ada yang bisa ada yang gak ikut ke DFO, ya udah diputuskan ke DFO padahal udah sepakat gak pergi kemana-mana dan ada alasen pulangnya janji ma Lara buat main di rumah Afrah n Zahra. Pas aku telfon Zahra's mum ntar kita mau mampir sepulang DFO, eeeh ... ternyata rencana hari itu mereka mau kesana juga padahal tadi pas di telpon gak kemana-mana ... Di DFO ngapain lagi kalo gak nyoping, yang asalnya cuma mau spend dikit begitu liat Puma diskon 40 % mana tahaaan bow ... Eh ... di River n Rip Curl juga Gio, euleuh ... pusing dech. Eeh nulis kayak ginian meni teu elit and so un me gitu ...

Ya udah akhirnya si anak-anak janjian mau maen besok kerumah. Udah dipastikan gak kemana-mana soalnya ayah mau jum'atan ke Dara. Jadi dirumah. Nambah penasaran juga telpon si Nur ngapain hari gini. Tiba-tiba dia nyuruh datang katanya ada piknik ddakan di Park ma Mbak Tika n Mbak Cheta ya udah lagian anak-anak juga happy diajak maen. Semuanya serba kebetulan, temen yang lain datang juga secara gak sengaja. Piknik jadi seru dengan datangnya vokalis Joni (iskandar) heee heee ... padahal besok Idul Adha ...

Sabtunya Idul Adha kita janjian mau Sholat Ied di Lutwyche dengan halaqoh member n friends. Kirain Mbak Helda belum dapet mobil hari itu, ternyata rencana mendadak lagi dari pada sabtu depn ke Dream World mending kita rayakan Idul Adha di sono ... aduh punten .... Jadi weh ... money lagiiii.

Ternyata hari sabtu bukan the end of the holiday, masih ada acara silaturahim dalam rangka Iedul Adha ke Holland Park n Eight Miles Plain disambung hunting foto Fireworks di South Bank yang sebenarnya puncak acara dari semua activity holiday. Alhamdulillah, hunting foto berhasil berkat bimbingan sang instruktur fotography dari workshop seminggu lalu. Untung posisi berada didekat si beliau jadi meter, aperture, speed dan WB udah di set ama beliau. Wuiih ... baru kali ini ngerasin pengalaman fotography yang asik bgt. Pokoknya topbgt dech. Kata Pak Tino Syafiq Sidin sich 'Bagus' katanya, bener gak yaa, pede aja dech.

fireworks southbank - my shot E300 Olympus


Masih ada lagi acara hari esok di Morningside rumah kediaman Sri Yoga buat acara silaturahim dan halaqoh dan plus makan-makan yang buanyaknya gile bener, sampe-sampe pulang teler gak inget bumi alam saking kenyangnya. Itulah akhir perjalanan liburan akhir tahun, tidak happy ending karena malamnya harus back to work, tapi selama liburannya happy terus walopun dompet terkuras.