Monday, March 29, 2010

Day Care Memberdayakan Perempuan

Jum'at pekan lalu, setelah pengajian yang cuma dihadiri sekitar lima orang guru, Ibu pemateri ngajak ngobrol dulu dengan beberapa teman. Kebetulan tema kali itu adalah tentang persoalan hidup yang erat kaitannya dengan pendidikan anak baik anak kandung sendiri dan maupun anak didik. Dipenghujung obrolan kami, tiba-tiba salah satu temen bertanya mengenai Day Care yang konon ada didaerah tempat tinggal ibu pemateri dan akhirnya curhatlah si teman ini mengenai pembantunya yang sangat kasar terhadap anak dan dirinya. Hal yang membuat beliau konsern adalah ironisnya suatu keadaan dimana dia harus mendidik anak didik disekolah sedangkan anak kandungnya sendiri di 'didik' oleh pembantunya yang sudah pasti pola asuh tidak akan sesuai dengan harapan sang bunda. Katakan itu kasus pertama. Kasus kedua, saya langsung mendengar dari seorang ibu yang konsern pula dengan pola asuh anak yang dibesarkan pembantu. Sekarang anaknya yang hanya berumur setahun 3 bulan sudah ketagihan jajan, setiap kali menangis si bayi bisa diselimurkan dengan kata 'jajan' dan ditunjukkan uang seribu rupiah dan akhirnya diam.

Pola asuh seperti apa jika dari mulai sejak dini kebiasaan-kebiasaan ini sudah diterapkan? Pasti banyak kasus-kasus lain yang sangat membuat ibu-ibu sedih karena pola asuh tak sesuai. Sungguh ironis, sementara si ibu mempunyai ilmu pendidikan yang ideal untuk mendidik anak-anak didiknya di sekolah, sedangkan anak-anak dan bayi-bayi mereka dididik oleh pembantu yang nota bene - maaf - cuma lulusan SD dengan kemampuan bahasa yang terbatas, aksen-aksen berbahasa yang khas yang mungkin tidak pas dengan keinginan si ibu, tanpa bekal pengetahuan psikologi perkembangan, dan kasih sayang yang terbatas antara klien dan penjual jasa asuh. Kesemuanya ini adalah sebuah dilema bagi para ibu-ibu bekerja, tertama seorang guru yang super sibuk.


Dari fenomena diatas, jadi teringat tiga tahun lalu, ketika bekerja di Play House, sebuah Day Care di Brisbane - Australia. Berbeda dengan dilema-dilema tadi, bayi-bayi dan balita dititipkan di Day Care yang insyaallah certified dengan para pekerja yang at least memiliki blue card - kartu berkelakuan baik yang memberi kelayakan para pekerja bekerja dengan anak-anak di bawah umur. Dengan Blue Card kita menjamin diri kita sendiri bahwa kita tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan anak-anak. Pekerja Day Care wajib bersertifikasi pula yang dibekali dengan pengetahuan Developmental Psychology and Child Development. Anak yang dititipkan di latih dengan pola-pola tertentu seperti toilet training dengan pola berkala, pembisaan mencuci tangan dan pada intinya sistem keteraturan yang berpola. Kelebihan dititipkannya bayi-bayi dan anak-anak itu adalah membuat ibu-ibu mereka bisa bekerja dengan tenang dan selain itu juga day Care memperkerjakan ibu-ibu yang membutuhkan penghasilan. Jadi terjadi sementara si anak berada ditangan yang aman dan profesional meski perlakuan kasih sayang dan ikatan bathin tidak akan persis sama dengan dididik oleh ibunya sendiri. Kelebihan lainnya adalah anak-anak menjadi lebih mandiri karena mereka diatur dengan pola-pola khusus. Bekerja di Day Care membuat saya menyadari bahwa day care adalah salah satu solusi untuk masalah-masalah diatas dan juga sebagai alat women empowerment.


Memang banyak kelebihan-kelebihan yang diberikan oleh Day Care di negara tadi tapi bila dilihat dari kaca mata pendidikan ruhiyah anak, mereka tidak mendapatkan pendidikan agama sama sekali. Hanya mental dan fisiknya lah yang dilatih tapi ruh dibiarkan kosong karena mereka tidak melihat azas-azas keagamaan. Dengan begitu, saya jadi teringat kegiatan mabit weekend lalu, yang difasilitasi oleh kaum ibu dan teteh-teteh pengasuh TPA. Kegitan itu berniat mengenalkan mesjid kepada anak-anak sebagai tempat beraktifitas. Pendidikan ruhiyah wajib ditanamkan sejak usia dini minimal mengenal mesjid sebagai tempat bermain, belajar dan dan melakukan aktifitas apa saja dengan tujuan pemakmuran mesjid. Selain itu penanaman nilai-nilai Islam perlu diterapkan sejak dini sehingga terinternalisasi dalam pola prilaku di masa-masa perkembangan anak.

Kegiatan pendidikan anak yang mulai dari Day Care sampai mabit, kesemuanya dilakukan oleh kaum perempuan. Jadi sebenarnya dari masalah-masalah yang diungkapkan diatas bisa dijadikan potensi olah para peremepuan untuk empowering themselves dengan mendirikan Day Care-Day Care yang menggabungkan jenis Day Care professional dengan nuansa keislaman yang kental, seperti program yang akan dilaunching oleh Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimah (PP Salimah) berencana membangun 200 Rumah Balita Sejahtera. Rumah ini disediakan untuk membantu orang tua yang bekerja agar anaknya tetap dalam pengawasan dengan muatan Islam yang akan ditanamkan kepada anak-anak yang dititipkan. Lihat link ini http://koran.republika.co.id/koran/0/107315/Salimah_Siapkan_200_Penampungan_Anak

2 comments:

Adzkiya said...

assalamu'alaikum mba afiana,
senang membaca tulisannya mengenai daycare. Sebelumnya perkenalkan dulu ya, nama saya Rani, alhamdulillah sy diberi kesempatan u mrasakan tinggal di brisbane dari tahun 2008 sd 2009 akhir, status: ikut suami kuliah di UQ. Sy juga sempat bekerja di playhouse UQ selama kl 1 tahun setelah dilamar oleh ms. sushila n margareth set sy OJT menyelesaikan kursus cert.III (msh inget dg mereka mba?). Sy sependapat dg mb afi ttg perlunya didirikan daycare di kota2 di indonesia, daycare yg menggabungkan unsur2 edukasi,ada sisi ruhiyah nya dan yg pasti di kelola sec profesional. Ketika pulang kampung ke indonesia december yl, rasanya semangat sekali u lgs membuat konsep dan survei kecil2an u mendirikan daycare. Namun, rasanya kog sulit ya u memulainya. dari mslh penyediaan tempat, mendidik para carer, biaya operasional dll, secara upah tenaga babysitter dan khadimat di negara kita masih lebih murah ketimbang biaya memasukkan anak di daycare. Mb afi, maaf ini kepanjangan, jg curhat ya bukan comment lg namanya he..he.. (mohon pencerahannya ya mba mgn kondisi di atas). Jazakillah khoir.

Adzkiya said...
This comment has been removed by the author.